Thursday, July 10, 2014

Mewaspadai Kemunafikan

  Mewaspadai Kemunafikan
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Ulama besar Imam Hassan al-Bashri pernah memberi nasihat. Katanya, "Orang yang merasa aman dari kemunafikan adalah munafik. Dan orang yang merasa takut dihinggapi kemunafikan itulah yang beriman."

Nasihat tersebut bertujuan mengingatkan agar kita selalu mewaspadai kemunafikan (nifaq). Baik nifaq yang ada pada diri kita maupun pada orang lain. Keduanya sangat berbahaya. Kemunafikan yang ada pada diri kita, dapat menjerumuskan kita ke tempat atau posisi diri yang amat hina-dina. Allah SWT dalam al-Quran bahkan menjelaskan, orang munafik itu tempatnya adalah neraka yang paling bawah (asfali minannar). Sedangkan kemunafikan pada diri orang lain, selain berbahaya bagi dirinya, juga berbahaya bagi Islam dan umat Islam.

Profil orang munafik terkenal adalah Abdullah bin Ubay. Di depan Nabi Saw dan umat Islam ia mengaku beriman, menyatakan diri Muslim. Namun di belakang ia memusuhi mereka, bahkan bersekutu dengan kaum kafir untuk memerangi Islam dan umatnya.

Tidak heran jika pembicaraan tentang kemunafikan pada masa Rasulullah merupakan hal yang sangat menakutkan. Karena, gejela kemunafikan sangat halus dan sering tidak disadari oleh orang yang mengalaminya.

Secara syar'i, kemunafikan dapat dibagi dalam dua jenis: nifaq qolbi dan nifaq amali. Yang pertama merujuk pada rusaknya iman seseorang, sehingga amal perbuatannya sama sekali tidak sejalan dengan pengakuannya sebagai orang beriman. Ia juga hipokrit alias bermuka dua, seperti yang dilakukan Abdullah bin Ubay. Kalaupun ia menampilkan amal yang Islami, hanya kepura-puraan, padahal hatinya penuh dengan rencana untuk merusak agama dan umat Islam.

Sedangkan nifaq amali yaitu perilaku yang menunjukkan ciri kaum munafik, antara lain berkata bohong, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah (kepercayaan).

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Bibit kemunafikan akan tumbuh subur seiring kecintaan seseorang pada dunia semakin kental. Karena, seperti diisyaratkan Rasulullah, pada awalnya penyebab kemunafikan adalah hubbud dunya wa karohiatul maut (cinta dunia dan takut mati). Takut miskin, takut tersaingi, takut tidak mendapat kedudukan, takut jatih dari kekuasaan, takut hilang pengaruh, dan sebagainya. Akibatnya, apa yang dilakukan semata-mata demi kepentingan diri sendiri tanpa mengindahkan norma-norma Islam.

Gejala kemunafikan merebak dewasa ini. Di bidang hukum umat lebih senang memakai atau memilih hukum thagut ketimbang hukum Islam. Di arena politik banyak manusia-manusia hipokrit yang menjual slogan-slogan manis dan janji-janji kosong manakala ia berambisi merebut suatu posisi kekuasaan. Penyelewengan jabatan atau penyalahgunaan wewenang pun menggejala, akibat dikhianatinya kepercayaan rakyat (amanah) atau diingkarinya "sumpah jabatan".

Orang munafik merupakan musuh paling serius bagi Islam dan umatnya. Sebab, ia tidak secara terang-terangan memusuhi Islam. Tidak sebagaimana orang-orang kafir yang jelas-jelas beragama non-Islam dan relatif mudah diidentifikasi.

Dalam al-Quran diterangkan banyak sekali ciri-ciri kemunafikan, atau karakteristik kaum munafik. Misalnya dalam Q.S. al-Baqarah:8-20. Yang terutama adalah mengaku beriman, padahal tidak, untuk mengelabui kaum mukmin. Ia sulit dikenali sebagai musuh Islam sebab mengaku beriman. Pengakuannya sebagai orang beriman semata-mata siasat agar tidak dicurigai. Dengan kedok keimanan itulah ia masuk ke kalangan umat Islam dan dengan mudah mencari kelemahan untuk kemudian menghancurkannya.

Dalam ayat lain dijelaskan, orang-orang munafik menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dan penolong, sedang kaum mukmin dimusuhi atau dijauhinya (Q.S. 4:138-139). Dijadikannya orang kafir sebagai teman karena dengan begitu ia bebas melampiaskan kemunafikannya, atau mencari bantuan untuk meraih sesuatu dengan menyingkirkan saingannya sesama mukmin. Ia menjauhi dan menjaga jarak dengan orang mukmin karena takut kedoknya terbongkar, "panas" bila mendapat nasihat, dan mendapat "tekanan batin" karena orang mukmin berhati tulus, jujur, dan menjalankan norma Islam.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Pada bulan Rajab ini kita mengenang Isra Mi'raj Nabi Saw, yang hasilnya antara lain turunnya perintah mendirikan shalat. Shalat merupakan tiang agama dan amal pertama yang dihisab di akhirat nanti.

Bagi kaum munafik, shalat tidaklah penting. Karena imannya hanya pura-pura, maka kaum munafik pun malas mendirikan shalat, atau mengerjakan shalat dengan tidak bersemangat, dan sedikit (jarang) mengingat Allah (Q.S. 4:142). Ia lakukan ibadah demi pujian orang (riya), dan ada maksud-maksud lan, misalnya untuk mengelabui umat agar menganggapnya "rajin ibadah".

Jika kita malas mendirikan shalat, maka waspadalah kemunafikan telah menyusupi jiwa kita. Sedangkan shalat merupakan pembeda antara kaum Muslim dan kafir.

Pada era reformasi ini, kita juga harus waspada terhadap kaum munafik yang menunggangi gerakan reformasi. Bisa saja kaum munafik menyusup ke partai Islam atau partai lainnya, berkedok membela Islam dan memperjuangkan rakyat kecil. Padahal yang dituju adalah popularitas dan kedudukan.

Terakhir, jika umat Islam tidak mau tunduk kepada hukum Allah, atau tidak mau menggunakan sistem Islam dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan lainnya, maka waspadalah, kemunafikan telah melanda umat Islam itu. Sebab dalam Q.S. 4:60 dijelaskan, orang munafik lebih memilih hukum thagut ketimbang hukum Allah. Dalam diri kaum munafik terjadi dualisme dalam beragama: di satu pihak menjalani ibadah secara Islam (shalat, zakat, puasa, dan haji) namun di pihak lain, dalam bidang sosial-kemasyarakatan, memakai paham atau sistem nilai lain. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).

Istiqamah dalam Keimanan

Istiqamah dalam Keimanan
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Nabi Saw menyatakan dalam sebuah haditsnya, apa yang harus dilakukan umat manusia di dunia ini, dalam menjalani kehidupannya agar selamat dunia dan akhirat, sederhana saja: Qul, amantu billahi tsumma itstaqim!, beriman kepada Allah kemudian pegang teguh (istiqamah) keimanan itu.

Hadits tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Fushilat:30 yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata 'Tuhan kami ialah Allah', kemudian mereka tetap lurus (istiqamah) dalam keimanannya, niscaya turun kepada mereka malaikat menyampaikan pesan kepada mereka bahwa janganlah kalian takut dan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian!".

Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Allah sebagai Tuhan semesta alam, juga yakin akan kebenaran keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir Allah SWT bagi setiap manusia. Dan pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.

Pengamalan keimana kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas firman-firman-Nya, yang kini tertuang dalam al-Quran, sekaligus mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Minimal, seorang mukmin harus membuktikan keimanannya dengan mengerjakan shalat lima waktu. Karena, dalam sebuah hadits disebutkan, pembeda antara seorang mukmin/Muslim dan kafir adalah shalat. Dari shalat, jika dikerjakan dengan khyusu, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar tunduk kepada Allah SWT.

Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya, untuk kemudian oleh Allah SWT dimintakan pertanggungjawaban kita di akhirat kelak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan dibolehkan oleh ajaran Allah semata (syariat Islam).

Keimanan kepada kitabullah, minimal dengan melakukan pembenaran kepada al-Quran, yang diikuti dengan pembacaan, penghayatan, dan pengamalan kandungan isinya. Menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup, mutlak wajib hukumnya bagi setiap mukmin. Al-Quranlah yang merupakan hudan (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. al-Baqarah:2).

Keimanan kepada para rasul Allah, minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad Saw, yang diikuti dengan menjalankan apa yang didakwahkannya. Perilaku Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan bagi kaum mukmin.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Kemudian kimanan kepada hari akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini ada alam kehidupan yang kekal, yakni akhirat. Bahwa semua makhluk akan mati atau binasa, kemudian manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani "kehidupan kedua". Di alam akhirat itulah manusia menjalani kehidupan sesungguhnya. Bahagia atau celakanya, ditentukan oleh amal perbuatannya selama di dunia ini. Pada alam akhirat itulah pembalasan atas amal manusia dilakukan Allah. Firman-Nya dalam Q.S. al-Zalzalah:6-8, artinya, "Pada hari itu manusia akan pergi berpecah-pecah untuk diperlihatkan kepada mereka akan kerja-kerja mereka. Barangsiapa yang beramal kebaikan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya pula".

Adapun keyakinan akan adanya akhirat harus dibuktikan dengan pengumpulan bekal kita untuk kehidupan di sana. Yakni, berupa amal saleh. Beribadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama makhluk, sebagaimana diperintahkan-Nya. Hidup di dunia ini hanya sementara. Pergunakan sebaik-baiknya, jangan sampai terlena oleh kenikmatan duniawi yang melenakan, sehingga melupakan kita akan persiapan (amal saleh) untuk akhirat.

Sedangkan beriman kepada takdir, yakni membenarkan adanya ketentuan Allah SWT. Yaitu, ketentuan yang menentukan nasib atau keadaan kehidupan kita. Yang mana nasib atau keadaan itu mengiringi amal yang kita kerjakan. Ibaratnya, orang rajin belajar tentu akan pandai dan lulus ujian. Orang rajin bekerja tentu akan mendapatkan kekayaan. Orang beribadah tentu mendapat pahala. Sebaliknya, jika kita lalai beribadah, banyak berbuat dosa, tentu ketentuan Allah berupa adzab akan menimpa kita.

Demikian pula jika kita menjalani kehidupan ini sesuai syariat Islam, tentu kebahagiaan hidup dunia-akhirat akan mengiringi kita. Jika kita rajin menjaga kondisi tubuh, dengan olahraga misalnya, kesehatan tentu akan menimpa jasmani kita. Dan seterusnya.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Uraian di atas hakikatnya adalah sikap istiqamah dalam beriman kepada Allah. Istiqamah adalah kukuh, kuat kepada keyakinan yang ada. Tetap teguh menjalankan konsekuensi keimanan sebagaimana terurai di atas.

Dalam terminologi iman sendiri terkandung makna istiqamah. Iman adalah mengucapkan dengan lisan (ikrarun bil lisan), diiringi dengan pembenaran dalam hati (tashdiqun bil qalbi) dan dibuktikan dengan tindakan nyata oleh seluruh anggota tubuh ('amalun bil arkan).

Orang yang istiqamah dalam keimanannya, akan dapat mengalahkan setiap godaan untuk berbuat maksiat, syirik, nifak, atau mengabaikan syariat Islam. Hawa nafsu duniawi dan bujuk-rayu setan, akan selalu mengintai kaum mukmin agar mereka berpaling dari ajaran Allah yang diimaninya.

Orang yang tidak istiqamah ialah mereka yang mudah goyah keimanannya. Hawa nafsu duniawi, mengejar kesenangan duniawi, menjadi pilihannya dengan mengabaikan keimanannya. Ini bukan berarti mengejar kesenangan duniawi dilarang, tetapi seyogianya orang beriman yang teguh dengan keimanannya akan mengejar kesenangan duniawi itu dengan tetap berpedoman kepada aturan Allah, berstandar halal-haram, manfaat-madarat, dan lain-lain.

Semoga kita termasuk orang yang mampu beristiqamah dalam keimanan kita. Semoga pula kita mempunyai pemimpin yang istiqamah, baik dalam keimanannya maupun pada janji-janji manisnya ketika mereka menarik simpati rakyat agar mendukung mereka. Amin. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

Memilih Pemimpin

  Memilih Pemimpin
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Telah menjadi keyakinan kita, selaku umat Islam, bahwa agama ini (Islam) merupakan pedoman hidup yang harus dipatuhi. Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Jika kita mengikutinya, maka kebahagiaan dunia-akhirat akan diraih. Sedangkan jika kita mengabaikan aturan-aturan Islam, maka kecelakaan dan kesengsaraan akan menimpa kita, di dunia dan akhirat.

Menghadapi persoalan besar negara kita sekarang ini, yakni ihwal kepemimpinan nasional, kita selaku umat Islam pun harus menjadikan syariat Islam sebagai pedoman dalam memilih pimpinan, dalam hal ini berupa memilih wakil rakyat di lembaga legislatif. Tentu saja, caranya dengan mengikuti Pemilu dan memberikan suara kepada kontestan (partai politik) yang aspiratif terhadap umat Islam, termasuk ihwal pimpinan eksekutif tertinggi (presiden).

Islam menggariskan, syarat utama pimpinan yang harus dipilih umat Islam adalah seorang Muslim. Allah SWT menegaskan, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan taatilah pula 'ulil amri' di antara kamu..." (Q.S. an-Nisa:59).

Kata "di antara kamu" (minkum) jelas menunjukkan "ulil amri" (pemegang kekuasaan, penguasa, atau pemimpin) haruslah "orang kita", yakni sesama Muslim. Hal tersebut dipertegas oleh Q.S. Ali Imran:28, "Orang-orang beriman tidak mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin..." dan Q.S. Ali Imran:118, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memilih 'bithanah' (pemimpin, teman dekat) dari selain kalian. Mereka tidak akan melalaikan kesempatan untuk mencelakakan kalian. Mereka suka kalian menderita...".

Alasan utama umat Islam harus memilih seorang Muslim sebagai pemimpin, antara lain karena sang pemimpin bertugas membimbing umat mengamalkan syariat Allah dan menegakkan syiar Islam di bumi ini. Bagaimana mungkin seorang non-Muslim mampu melakukannya?

Persyaratan Muslim di sini tentu saja yang benar-benar kaffah kemuslimannya, tidak parsial apalagi "Muslim sekuler", sehingga ia tidak akan membiarkan munkarat atau kemaksiatan merajalela di negeri ini, baik berupa "KKN" maupun perjudian, prostitusi, dan sebagainya. Ia akan pimpin umat Islam menuju kehidupan yang penuh berkah dan maghfirah Allah, dengan mempedomani syariat Islam dalam sistem pemerintahannya.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Syarat penting lainnya, seorang pemimpin yang harus kita pilih mestilah seorang laki-laki. Seperti telah disepakati Kongres Umat Islam Indonesia tahun lalu, pemimpin --dalam hal ini presiden-- harus seorang Muslim laki-laki, bukan wanita. Karena itu, dalam pemilu nanti tentunya umat Islam hendaknya memilih kekuatan-kekuatan politik yang akan memilih seorang Muslim laki-laki menjadi presiden.

Kaum salaf umat Islam, sebagaimana dikemukakan Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya Fiqhul Mas'uliyyah fil-Islami (Fiqih Responsibilitas dalam Islam, GIP, 1998:180), telah bersepakat bahwa perempuan tidak boleh memangku jabatan kepemimpinan kaum Muslimin. Karena, pemimpin umum mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak dapat dilakukan oleh seorang perempuan, seperti memimpin shalat dan sejenisnya.

Seorang pemimpin dalam pandangan Islam mestilah pula seorang yang adil atau berkeadilan. Yang mampu menunaikan seluruh tugasnya mengayomi seluruh rakyat, tanpa perbedaan perlakuan, seraya menjauhi dosa-dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil. Juga bersifat amanah (terpercaya) dan jujur.

Keadilan ('adalah) menurut Ali bin Abi Thalib adalah inshaf kejujuran. Ibnu Athiyah menafsirkan keadilan sebagai "seluruh akidah dan syariat yang diwajibkan dalam menunaikan amanat, meninggalkan kezhaliman, jujur, dan memberikan hak". Sedangkan Ibnul 'Arabi mengatakan, keadilan antara hamba dan Rabbnya adalah mendahulukan hak Allah atas kepentingan dirinya. Mementingkan ridha Allah dari dorongan nafsunya.

Dengan demikian, pemimpin umat Islam mestilah seorang yang saleh, taat menjalankan semua perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia menjadi teladan bagi seluruh umat Islam yang dipimpinnya.

Syarat lain seorang pemimpin adalah berkemampuan (memimpin). Ia harus mampu mewujudkan kemaslahatan umat serta mengatur urusan mereka. Ia harus mampu mengemban amanat rakyat (umat Islam). "Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggulah masa kehancuran," demikian sabda Nabi Saw. Ketika para sahabat bertanya tentang bentuk penyia-nyiaan amanat itu, beliau menjawab, "Jika suatu tugas diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya".

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan, umat Islam diharuskan memilih pemimpin yang tidak menginginkan jabatan. Dengan kata lain, umat harus memilih pemimpin yang tidak ambisius, atau jangan memberikan jabatan kepada orang yang meminta jabatan tersebut. Karena meminta jabatan dengan alasan merasa diri sendiri mampu, dilarang oleh Islam. "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa" (Q.S. an-Najm:32).

Lebih tegas disabdakan Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdurrahman bin Sumrah,

"Wahai Abdurrahman bin Samrah, janganlah engkau minta kepemimpinan itu, karena jika engkau diberikan karena memintanya, niscaya akan dibebankan dengan tugas kepemimpinan itu, sedangkan jika engkau diberikan bukan karena meminta, maka engkau akan diperbantukan bagi kepemimpinan itu..."

Demikianlah sebagian pedoman Islam bagi umatnya dalam memilih pemimpin.

Semoga kita dan umat Islam seluruhnya, mampu membuka mata, telinga, dan hati, untuk memilih pemimpin-pemimpin yang mampu menjaga harkat-martabat Islam dan umatnya (izzul Islam wal Muslimin), serta mampu menata kehidupan bangsa dan negara ini menuju baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang aman sejahtera, penuh limpahan rahmat Allah SWT. Amin. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

Alam Kehidupan Manusia

Alam Kehidupan Manusia
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Mengetahui eksistensi diri, termasuk siapa kita, untuk apa, dan mau ke mana, diikuti kesadaran penuh untuk menerimanya, merupakan langkah baik menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dan, "pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan", kata Imam al-Ghazali, merujuk pada Hadits Nabi Saw, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya" (man 'arafa nafsahu 'arafa rabbahu).

Yang dimaksud mengetahui tentang diri, kata al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita seperti bentuk muka atau anggota tubuh lainnya; bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi? Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian al-Ghazali.

Salah satu jalan pembuka untuk itu (mengenali keberadaan diri di dunia ini) adalah dengan menyadari bahwa kita telah, sedang, dan akan hidup di empat alam --sebagaimana diisyaratkan al-Quran. Yaitu, alam ruh (QS 7:172), alam dunia (QS 43:32), alam barzakh (QS 23:100), dan alam akhirat (QS 29:64).

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Alam Ruh yaitu alam di mana umat manusia masih berwujud ruh tanpa raga/jasad. Quran mengisyaratkan, pada waktu itu umat manusia telah secara sepakat bulat mengakui Allah SWT sebagai Tuhan --satu-satunya Tuhan yang akan disembah atau tempat mengabdi.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu hendak mengembangbiakkan keturunan Adam dari tulang sulbi mereka, lalu diminta-Nya pengakuan mereka atas jiwanya masing-masing: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Benar, kami mengakui Engkau Tuhan kami'. Hal ini kami lakukan agar nanti di hari kiamat kalian tidak mengatakan: 'Kami dahulu lupa tentang perjanjian ini'. (QS 7:172)

Ayat tersebut pun mengisyaratkan, semua umat manusia dilahirkan keadaan "Muslim". Hal ini didukung oleh sebuah hadits yang mengatakan, semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan kedua orangtuanyalah yang bisa menjadikan mereka seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hadits ini tidak menyebut kata Muslim, artinya kata itu sudah inheren dalam kata fitrah.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Setelah alam ruh dilalui, manusia menuju dan hidup di alam dunia. Alam ini merupakan alam di mana manusia dihadapkan pada berbagai cobaan, untuk menguji apakah manusia benar-benar menjadikan Allah SWT sebagai Tuhannya. Jadi, dunia ini merupakan ajang ujian dari-Nya.

"Sesungguhnya Kami telah jadikan segala yang ada di bumi ini untuk perhiasan bagi bumi itu sendiri dan penghuninya, untuk menguji siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya." (QS al-Kahfi:7).

Alam dunia merupakan tempat di mana manusia dituntut untuk melaksanakan atau membuktikan pengakuannya ketika di Alam Ruh (mengakui Allah SWT sebagai Tuhan).

Diakuinya Allah SWT sebagai Tuhan, ketika manusia berada di alam ruh, karena pada waktu itu tidak ada hal-hal yang menggoda yang dapat memalingkan manusia dari-Nya. Di dunia inilah segala godaan itu muncul, dan manusia dituntut keteguhannya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan (ilah) yang mengendalikan hidupnya, tempat berbaktinya, dan kepada siapa menyembah (beribadah).

Alam Dunia merupakan juga tempat persinggahan manusia --sebagai pengelana-- menuju tujuan akhir dari hidupnya, yakni Alam Akhirat dengan "alam transit"-nya di Alam Barzakh atau Alam Kubur. Di Alam Dunia inilah manusia harus pandai-pandai mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhiratnya, berupa amal saleh (ibadah).

Imam al-Ghazali mengibaratkan dunia ini sebagai sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir di tengah perjalanannya ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai pembekalan untuk perjalanan itu.

Untuk menguji pengakuan atau keimanan manusia pada Allah SWT, di alam dunia ini Allah SWT memberikan garis ketentuan yang harus diikuti agar manusia selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Garis ketentuan tersebut tidak lain adalah syariat Islam yang berintikan ajarah tauhid (keesaan Allah SWT).

Untuk memahamkan dan membimbing manusia mengikuti garis ketentuan tersebut, Allah SWT mengangkat diantara manusia sebagai utusan-Nya (Rasul) dengan Rasul terakhirnya Muhammad Saw.

Manusia dalam menjalani hidupnya di dunia ini berstatus sebagai makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, sebagai khalifah-Nya yang harus mewujudkan sifat-sifat Ilahiyah sebatas kodrat kemanusiaannya, dan sebagai pengemban amanah-Nya yang harus menegakkan ajaran-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39).

Setelah Alam Dunia dilalui, manusia akan pergi menuju alam akhirat yang kekal, melalui kematian (ajal), untuk mempertanggungjawabkan segala amal di dunia, baik atau buruk, dan hidup kekal di sana dalam kebahagiaan jika amal kita baik dan menderita jika amal kita buruk. Di alam akhiratlah kebahagiaan dan penderitaan hakiki berada.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Sebagai "alam transit" menuju alam akhirat, manusia lebih dulu tinggal di alam barzakh atau alam kubur, sampai hari kebangkitan tiba.

"(Orang kafir itu senantiasa tidak ingat akan akibat kejahatannya), sehingga manakala kematian datang pada salah seorang dari mereka, baru dia menyesal, katanya, 'Ya Tuhanku, hidupkanlah aku kembali, agar aku dapat memperbaiki kembali perbuatanku dalam perkara kebajikan yang kusia-siakan itu!' Tidak, itu hanya alasan belaka. Di belakang mereka terdapat sebuah 'sekat' (yang menghalangi mereka untuk kembali ke dunia) hingga menjelang hari pembangkitan nanti." (QS 23:99-100)

Yang dimaksud 'sekat' dalam ayat di atas adalah alam barzakh. Alam barzakh, menurut sebagian mufasir, adalah semacam dinding yang menghalangi manusia antara dunia dan akhirat. Orang yang sudah meninggal berada di sana sampai datangnya Hari Berbangkit (kiamat).

Di alam barzakh ini, berdasarkan hadits-hadits Nabi Saw, siksaan bagi pendosa mulai diberlakukan. Demikian juga kebahagiaan bagi pembuat amal saleh mulai dirasakan.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Kehidupan di alam dunia ini hanyalah sementara dan bukan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Kehidupan yang sebenarnya dan abadi adalah kehidupan di alam akhirat.

"Kehidupan dunia ini tidak lain hanya sebagai hiburan dan permainan. Kehidupan yang sebenarnya ialah kehidupan akhirat, kalau mereka itu mengerti." (QS 29:64)

Setelah "transit" di alam barzakh, manusia memasuki alam yang hakiki dan abadi, yakni alam akhirat. Di alam akhirat semua manusia dibangkitkan kembali dan dikumpulkan semuanya. Diperlihatkanlah kepada mereka seluruh amalnya, baik atau buruk, ketika di dunia.

Al-Quran menggambarkan suasana alam akhirat, seperti tercantum dalam QS 23:101-118, antara lain:

- Masing-masing manusia memikirkan dan mencemaskan nasibnya, sehingga hubungan kekeluargaan tidak ada lagi, juga saling tegur-sapa.

- Semua amal perbuatan manusia selama hidupnya di dunia ditimbang atau dihitung (dihisab). Siapa yang lebih berat amal kebaikannya, ia beruntung dan masuk surga. Siapa yang ringan timbangan amal baiknya (lebih berat amal buruknya), maka itulah orang merugi dan kekal di dalam neraka. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

Membersihkan Hati

Membersihkan Hati
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad Saw menegaskan, di dalam tubuh semua manusia terdapat segumpal daging (mudhghah). Jika mudhghah itu baik, maka akan baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. "Ingatlah, dia itu hati (qalb)!" tegas beliau.

Pada hadits lain, Nabi Saw menegaskan, kebersihan hati amat berpengaruh terhadap karakteristik seorang manusia. Kondisi itulah yang akan menentukan kadar kepekaan seseorang untuk mampu membedakan antara yang hak dan batil. Sejalan dengan firman Allah SWT, "Sesungguhnya bukan mata yang buta, melainkan yang buta itu adalah hati yang ada di dalam dada" (Q.S. al-Hajj:47).

Hati berkedudukan paling istimewa dalam diri kita. Hati adalah motor, motivator, atau penggerak anggota tubuh lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Baik buruk perilaku kita, bergantung baik-buruknya keadaan hati. Karena, dari hatilah lahirnya niat dan hasrat untuk bertindak. Hati juga adalah tempatnya takwa. Dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw menyatakan, "attaqwa hahuna" (takwa itu di sini), seraya menunjuk dadanya. Dan sabdanya pula, "Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk tubuhmu, suaramu, tidak juga rupamu, melainkan Dia menilai hati dan amalmu."

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Mengingat strategisnya hati, maka seyogianya setiap kita senantiasa melakukan sesuatu. Agar hati kita bersih dan tidak dihinggapi berbagai penyakit hati, seperti takabur (sombong), dalam arti merasa diri paling baik/benar dan menolak kebenaran, bakhil (kikir alias pelit), hasad (iri, dengki), wahn (cinta dunia dan takut mati), dan lain-lain.

Dalam sebuah kitabnya, Majmu'ul Fatawa, ulama besar Ibnu Taimiyah menunjukkan langkah-langkah bagi kita, bagaimana cara menghidupkan hati. Sehingga hati menjadi bersih, yang dengan sendirinya mendorong kita berbuat baik dan benar di mata Allah SWT. Jika itu terjadi, kebahagiaan hakiki dunia-akhirat, insya Allah dapat diraih.

Pertama, melalui al-Quran. Kitabulah ini adalah obat penyakit hati yang pertama dan utama. Mengobati atau menghidupkan hati melalui al-Quran, caranya adalah dengan membacanya, disertai dengan memahami kandungan isinya, termasuk kekhusyu'an dan perenungan setiap ayatnya. Tentu saja, itu semua akhirnya diamalkan dan didakwahkan kepada sesama.

Melalui al-Quran kita juga dapat bercermin diri. Sejauh mana ajaran Islam telah kita pahami dan laksanakan. Karenanya, membaca al-Quran adalah wajib bagi setiap Muslim. Seorang Muslim yang serius dengan keislamannya, maka ia akan membaca, memahami, dan mengamalkan al-Quran dengan serius pula.

Kedua, dengan mau menerima nasihat. Nasihat umumnya selalu baik dan datang kepada kita demi kebaikan diri kita sendiri. Karena itulah setiap Muslim diharuskan saling menasihati (taushiyah), sebagaimana dinyatakan Q.S. al-'Ashri:3, salah satu karakteristik orang yang tidak merugi hidupnya adalah yang mau saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ibnu Taimiyah menyatakan, nasihat merupakan salah satu di antara hal yang akan memperbaiki dan menyembuhkan hati yang sakit.

Nasihat biasanya datang kepada kita, jika kita melakukan kekeliruan. Dan kita sadari, kekeliruan itu terjadi akibat hati kita yang tidak bersih. Jika kita tidak menerima dan menaati nasihat yang datang, maka hati akan tetap kotor, perilaku keliru pun kemungkinan besar tetap terjadi. Karena itu, berlapang dadalah untuk menerima nasihat dan memperbaiki diri.

Ketiga, tobat dan istighfar. Langkah ini merupakan lanjutan dari langkah pertama dan kedua di atas. Nabi Saw bersabda, "Sesungguhnya jika seorang mukmin berbuat dosa, itu adalah suatu noda hitam pada hatinya. Jika kemudian ia bertobat dan meninggalkan perilaku dosanya itu, serta memohon ampun kepada Allah, maka hatinya akan kembali bersih mengkilat. Namun jika ia terus melakukan dosa, maka bertambah pula noda hitamnya, sampai noda tersebut meliputi hatinya..." (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad).

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Yang tidak kalah pentingnya, dari rangkaian cara menghidupkan hati adalah zakat hati. Menurut Ibnu Taimiyah, secara bahasa zakat adalah pertumbuhan atau tambahan kebaikan. Zakat hati ditunaikan melalui pencegahan diri dari apa yang dapat membahayakannya. Tubuh tidak akan berkembang kecuali dengan memberinya sesuatu yang bermanfaat.

Zakat hati adalah menambah pelaksanaan amal-amal taat, seperti shalat sunat, puasa sunat, sedekah, menolong yang lemah, dan sebagainya. Dengan begitu, rasa cinta kepada Allah dan sesama, akan tumbuh berkembang. Dengan sendirinya, hati pun akan hidup, tidak kotor, karena rasa cinta itu akan melekatkan diri pada dzikrullah.

Hati yang hidup akan membuat jiwa sehat dan hidup pula. Kejernihan pikiran dan perilaku baik sangka, pun akan terjadi. Pada masa krisis seperti sekarang ini, jika hati setiap orang bersih dan hidup, akan terbuka jalan keluar yang baik dan benar. Akan dapat dipahami apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa ini, sehingga ketentuan Allah berupa adzab ataupun peringatan, terjadi.

Marilah kita perbaiki diri kita, sehatkan hati kita, agar senantiasa perilaku kita sesuai dengan tuntunan dan tuntunan Allah. Yang pada akhirnya, pertolongan-Nya pun segera datang. Amin. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

Zaman "Hudnah"

Zaman "Hudnah"
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Negeri kita kini dilanda krisis berlarut-larut di berbagai bidang. Isu, rumor, dan kerusuhan muncul di mana-mana. Masyarakat resah-gelisah, bahkan mudah diprovokasi untuk melakukan kerusuhan dan tindak kejahatan. Istilah-istilah "aktor intelektual", "konflik antarelit", dan "provokator" begitu populer akhir-akhir ini.

Apa yang sebenarnya terjadi dan kapan keadaan menyusahkan ini berakhir, adalah pertanyaan pokok yang muncul di kalangan rakyat awam. Para ulama, da'i, atau tokoh-tokoh agama telah mengemukakan pandangannya. Antara lain, krisis yang melanda bangsa Indonesia saat ini adalah ujian, musibah, bahkan adzab dari Allah SWT. Agar bangsa ini, khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas, bertobat dan memperbaiki diri. Meluruskan niat dan tekad untuk berjalan di garis yang telah ditetapkan Allah SWT.

Sementara para pengamat, analis, dan politisi tak henti-hentinya melontarkan pandangan, bahwa semua kekacauan ini merupakan akibat kebijakan rezim Orde Baru yang otoriter. Yang menjalankan pemerintahan dengan penuh perilaku Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

Seorang da'i kondang kabarnya menangis, melihat begitu mudahnya masyarakat melakukan kejahatan seperti penjarahan, dan sering terjadinya kerusuhan. Ia bertanya pada dirinya, "Apa hasil dakwahmu selama ini?"

Rupanya, dakwah Islamiyah selama ini belum berhasil --jika tidak dikatakan galal sama sekali. Kegagalan dakwah, yang berarti belum Islaminya pemikiran dan perilaku umat, bukan saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, yang belakangan mudah terprovokasi, termakan isu, dan terlibat kerusuhan dan penjarahan, termasuk "tawuran antardesa/antarkampung". Kegagalan dakwah juga dapat dilihat di tingkat "atas", di kalangan kaum politisi atau tingkat elit, yang terkesan hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Setiap komentar mereka, yang dikutip pers, hampir seluruhnya bermuatan kepentingan politis, demi popularitas dan citra baik diri dan kelompoknya, plus berisi hujatan atau makian kepada pihak lain sebagai lawan politiknya.

Lebih parah lagi, munculnya "Islam politik", yang tersimbolkan oleh munculnya partai-partai politik berasas Islam yang didukung kaum ulama, dinilai negatif, "sektarian", dan "politisasi agama". Agama (Islam) seolah "diharamkan" mewarnai kehidupan dan praktik perpolitikan. Padahal, Islam adalah agama universal. Ajarannya mencakup semua bidang kehidupan, karena ia sesuai dengan fitrah manusia, memenuhi kebutuhan manusia akan pedoman hidup di segala sektor.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Rupanya, sekularisme yang memisahkan urusan agama dan negara, membedakan masalah pribadi --dalam hal hubungan dengan Tuhan (agama)-- dengan kemasyarakatan dan kenegaraan, telah merasuki jiwa sebagian besar umat Islam di negeri ini. Akibatnya, mereka enggan mengembalikan segala masalah kepada ajaran Allah, yang bersumberkan al-Quran sebagai wahyu-Nya. Mereka enggan mengatakan bahwa Islam solusi terbaik bagi setiap masalah. Mereka enggan mengakui --apalagi mengamalkan-- sistem politik dan ekonomi yang diajarkan Islam.

Umat Islam Indonesia, boleh jadi sebagian besar belum kaffah keislamannya. Mereka mengaku Muslim, tapi hanya mengamalkan sebagian kecil ajaran Islam. Mereka syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, namun sebatas "melakukan" semua itu, belum memahami dan mempraktikkan hakikat yang terkandung dalam Arkanul Islam tersebut. Mereka hanya "melakukan" shalat, sehingga setelah shalat mereka mengabaikan apa yang diucapkan dan dilakukannya sewaktu shalat: mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai utusan-Nya, mengakui "berserah diri kepada aturan-Nya", mengakui hanya kepada-Nya mengabdi dan meminta pertolongan.

Mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, Pencipta, dan Penguasa semesta alam. Namun enggan mengakui-Nya sebagai pemegang kedaulatan. Mereka lebih suka mengatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Mereka lebih menyukai konsep demokrasi ciptaan manusia, ketimbang kedaulatan hukum Allah. Akibatnya, permasalahan yang ada sulit dicarikan pemecahannya. Mereka berbantah-bantahan dan bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Mengklaim sebagai paling benar.

Kalangan politisi, pengamat, dan kaum elit bertarung dan berkonflik dengan sengitnya. Saling menghujat dan menjegal langkah lawan. Masyarakat kehilangan kepercayaan. Kehilangan figur yang dapat dipercaya dan dijadikan teladan. Sementara perut mereka menunggu makanan. Mereka marah, namun tak berdaya. Maka, mudahlah mereka dihasut dan diprovokasi. Maraklah kerusuhan!

Mana dan siapa yang benar? Demikian kira-kira yang ada dalam benak rakyat Indonesia saat ini. Patut kiranya kita merenungkan sebuah wasiat Nabi Muhammad Saw, yang dikutip Ibnu 'Arabi dalam kitabnya Al-Washaya li Ibn al-'Arabi (Wasiat-Wasiat Ibnu Arabi, Pustaka Hidayah, 1996:324) berikut ini.

Rasulullah Saw bersabda, "Tiada kebaikan dalam kehidupan kecuali bagi seorang berilmu ('alim) yang berbicara atau pendengar yang memperhatikan. Wahai manusia, kalian berada pada zaman hudnah, dan perjalananmu cepat..." Miqdad bertanya, "Wahai Rasulullah, apa hudnah itu?" Nabi Saw menjawab, "Negeri bencana dan yang terputus. Jika menjadi samar bagi kalian urusan-urusan seperti penggalan malam yang gelap, maka hendaklah kalian (kembali) kepada al-Quran. Sebab, al-Quran adalah pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan saksi yang dipercaya. Barangsiapa menjadikannya sebagai pemimpin, maka ia akan menuntunnya ke surga. Dan barangsiapa menaruhnya di belakang, maka ia menghalaunya ke neraka. Ia (al-Quran) adalah petunjuk yang paling jelas kepada jalan terbaik. Barangsiapa berbicara dengannya, maka ia dipercaya; barangsiapa mengamalkannya, maka ia diberi pahala; dan barangsiapa yang menghukumi dengannya, maka ia berlaku adil..."

Apalah negeri kita kini berada pada zaman hudnah? Wallahu a'lam, namun tampaknya demikian. Karenanya, umat Islam wajib segera kembali ke al-Quran, sumber kebenaran hakiki dan sumber tegaknya keadilan. Jika bukan al-Quran yang dijadikan rujukan dan pedoman kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, jangan harap bangsa/negara ini memperoleh kebenaran dan keadilan hakiki, yang penuh limpahan rahmat Allah SWT. Terlebih jika kita telah mengaku sebagai Muslim, yang berarti mengakui al-Quran sebagai wahyu dan bimbingan-Nya bagi kehidupan kita. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

Makanan Halal Melembutkan Hati

Makanan Halal Melembutkan Hati
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya seseorang. "Apa yang bisa melembutkan hati, Wahai Abu Abdillah?" Sejenak Imam Hambal merenung, lalu menjawab, "Makanan halal".

Dialog singkat di atas bermakna luas dan dalam. Intinya menyoal makanan halal yang dapat melembutkan hati. Hati yang lembut akan memudahkan penerimaannya atas kebenaran Ilahi. Sebaliknya, makanan haram akan mengeraskan hati. Hati yang keras akan sangat sulit menerima kebenaran Ilahi dan sebaliknya justru mudah menerima kemaksiatan dan kemunkaran.

Allah SWT sendiri menyajikan segala macam makanan di bumi ini untuk manusia. Dia menentukan pula jenisnya, yakni makanan yang halal dimakan dan makanan haram. Makanan haram adalah makanan yang secara dzati diharamkan, seperti daging babi, darah, binatang tercekik, binatang sembelihan tanpa disebutkan asma Allah. Termasuk makanan haram yaitu makanan yang diperoleh secara tidah sah menuruh Islam, yakni makanan yang diperoleh dengan cara mencuri, korupsi, menipu, dan sebagainya.

Umat Islam jelas diperintahkan oleh Allah SWT agar memakan makanan halal saja, yakni makanan selain yang diharamkan dan yang diperoleh secara sah menurut Islam.

"Wahai sekalian manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu sesungguhnya adalah musuh nyata bagimu" (Q.S. 2:168).

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Berkaitan dengan makanan haram, tentu kita ingat sebuah kisah dalam hadits. Yaitu ketika seorang pengembara berjalan tertatih-tatih. Kelelahan tampak pada raut mukanya dan rambutnya yang tak teratur dan penuh debu. Menandakan ia telah menempuh perjalanan jauh. Merasa tanpa daya lagi, ia pun menengadahkan tangannya ke langit, berdoa memohon pertolongan Allah SWT. Terucap dari mulutnya: "Ya Rabbi, Ya Rabbi!" Namun, doanya tidak dikabulkan karena makanan yang ia makan, minuman yang ia teguk, dan pakaian yang ia kenakan haram.

Jadi, makanan haram bukan saja mengeraskan hati, tetapi juga membuat seseorang terhalang kemakbulan doanya kepada Allah SWT. Meski dalam sebuah firman-Nya, Allah menyatakan akan mengabulkan setiap doa hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, makanan halal akan melembutkan hati sekaligus menjadikan doa kita makbul, dipenuhi oleh-Nya.

Maka dari itu, Islam menggariskan, umatnya harus selalu mengkonsumsi barang halalan thayiba (halal lagi baik atau bergizi). Dan yang harus mendapat perhatian serius, adalah "cara" mendapatkan barang halal tersebut. Karena, barang haram --seperti daging babi-- umumnya umat Islam menghindarinya. Namun tentang "cara", banyak umat yang mungkin tidak mempedulikan halal-haramnya. Padahal, barang halal pun jika didapat dengan cara haram, seperti pencurian, penipuan, korupsi, suap, dan sebagainya, maka barang itu pun haram dikonsumsi.

Karena itulah, di akhirat nanti, ihwal menyangkut harta kekayaan akan dimintai pertanggungjawabannya dari berbagai arah: dari mana didapatkan, bagaimana mendapatkannya, dan digunakan untuk apa? Jika harta didapat dari sumber halal, cara halal, namun penggunaannya melanggar aturan Allah, atau digunakan di jalan selain-Nya, maka keharaman jatuh atas penggunaan. Jika sumber halal, penggunaan halal, namun cara mendapatkannya tidak halal, maka haram jatuh atas cara mendapatkan harta tersebut. Begitu seterusnya.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Demikianlah, kehati-hatian kita dalam mendapatkan harta atau makanan, diperlukan mutlak. Agar darah-daging kita terhindar dari barang haram. Kehalalan sumber, cara, dan penggunaan harus selalu dijaga, agar rezeki yang kita dapatkan mengandung berkah dan menyelamatkan kita dunia-akhirat.

Kehati-hatian itu dalam istilah agama kita dinamakan wara'. Wara' adalah sikap berhati-hati terhadap suatu perkara yang syubhat, utamanya dalam hal mencari dan mempergunakan rezeki karena takut terjerumus ke dalam keharaman. Seorang Muslim yang memiliki sifat wara', akan menjauhkan diri dari masalah-masalah yang syubhat, apalagi yang sudah jelas-jelas keharamannya (pasti akan dijauhinya).

Sikap wara' menentukan "nasib" amal kebajikan kita. Akan berkurang nilainya, bahkan sia-sia, amal saleh kita jika tidak dibarengi sikap wara'. Nabi Saw menegaskan, "Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di Baitul Maqdis yang terus-menerus menyeru setiap malam, 'Barangsiapa memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunatnya dan fardhunya'." Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n