Thursday, July 10, 2014

Zaman "Hudnah"

Zaman "Hudnah"
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Negeri kita kini dilanda krisis berlarut-larut di berbagai bidang. Isu, rumor, dan kerusuhan muncul di mana-mana. Masyarakat resah-gelisah, bahkan mudah diprovokasi untuk melakukan kerusuhan dan tindak kejahatan. Istilah-istilah "aktor intelektual", "konflik antarelit", dan "provokator" begitu populer akhir-akhir ini.

Apa yang sebenarnya terjadi dan kapan keadaan menyusahkan ini berakhir, adalah pertanyaan pokok yang muncul di kalangan rakyat awam. Para ulama, da'i, atau tokoh-tokoh agama telah mengemukakan pandangannya. Antara lain, krisis yang melanda bangsa Indonesia saat ini adalah ujian, musibah, bahkan adzab dari Allah SWT. Agar bangsa ini, khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas, bertobat dan memperbaiki diri. Meluruskan niat dan tekad untuk berjalan di garis yang telah ditetapkan Allah SWT.

Sementara para pengamat, analis, dan politisi tak henti-hentinya melontarkan pandangan, bahwa semua kekacauan ini merupakan akibat kebijakan rezim Orde Baru yang otoriter. Yang menjalankan pemerintahan dengan penuh perilaku Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

Seorang da'i kondang kabarnya menangis, melihat begitu mudahnya masyarakat melakukan kejahatan seperti penjarahan, dan sering terjadinya kerusuhan. Ia bertanya pada dirinya, "Apa hasil dakwahmu selama ini?"

Rupanya, dakwah Islamiyah selama ini belum berhasil --jika tidak dikatakan galal sama sekali. Kegagalan dakwah, yang berarti belum Islaminya pemikiran dan perilaku umat, bukan saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, yang belakangan mudah terprovokasi, termakan isu, dan terlibat kerusuhan dan penjarahan, termasuk "tawuran antardesa/antarkampung". Kegagalan dakwah juga dapat dilihat di tingkat "atas", di kalangan kaum politisi atau tingkat elit, yang terkesan hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Setiap komentar mereka, yang dikutip pers, hampir seluruhnya bermuatan kepentingan politis, demi popularitas dan citra baik diri dan kelompoknya, plus berisi hujatan atau makian kepada pihak lain sebagai lawan politiknya.

Lebih parah lagi, munculnya "Islam politik", yang tersimbolkan oleh munculnya partai-partai politik berasas Islam yang didukung kaum ulama, dinilai negatif, "sektarian", dan "politisasi agama". Agama (Islam) seolah "diharamkan" mewarnai kehidupan dan praktik perpolitikan. Padahal, Islam adalah agama universal. Ajarannya mencakup semua bidang kehidupan, karena ia sesuai dengan fitrah manusia, memenuhi kebutuhan manusia akan pedoman hidup di segala sektor.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Rupanya, sekularisme yang memisahkan urusan agama dan negara, membedakan masalah pribadi --dalam hal hubungan dengan Tuhan (agama)-- dengan kemasyarakatan dan kenegaraan, telah merasuki jiwa sebagian besar umat Islam di negeri ini. Akibatnya, mereka enggan mengembalikan segala masalah kepada ajaran Allah, yang bersumberkan al-Quran sebagai wahyu-Nya. Mereka enggan mengatakan bahwa Islam solusi terbaik bagi setiap masalah. Mereka enggan mengakui --apalagi mengamalkan-- sistem politik dan ekonomi yang diajarkan Islam.

Umat Islam Indonesia, boleh jadi sebagian besar belum kaffah keislamannya. Mereka mengaku Muslim, tapi hanya mengamalkan sebagian kecil ajaran Islam. Mereka syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, namun sebatas "melakukan" semua itu, belum memahami dan mempraktikkan hakikat yang terkandung dalam Arkanul Islam tersebut. Mereka hanya "melakukan" shalat, sehingga setelah shalat mereka mengabaikan apa yang diucapkan dan dilakukannya sewaktu shalat: mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai utusan-Nya, mengakui "berserah diri kepada aturan-Nya", mengakui hanya kepada-Nya mengabdi dan meminta pertolongan.

Mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, Pencipta, dan Penguasa semesta alam. Namun enggan mengakui-Nya sebagai pemegang kedaulatan. Mereka lebih suka mengatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Mereka lebih menyukai konsep demokrasi ciptaan manusia, ketimbang kedaulatan hukum Allah. Akibatnya, permasalahan yang ada sulit dicarikan pemecahannya. Mereka berbantah-bantahan dan bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Mengklaim sebagai paling benar.

Kalangan politisi, pengamat, dan kaum elit bertarung dan berkonflik dengan sengitnya. Saling menghujat dan menjegal langkah lawan. Masyarakat kehilangan kepercayaan. Kehilangan figur yang dapat dipercaya dan dijadikan teladan. Sementara perut mereka menunggu makanan. Mereka marah, namun tak berdaya. Maka, mudahlah mereka dihasut dan diprovokasi. Maraklah kerusuhan!

Mana dan siapa yang benar? Demikian kira-kira yang ada dalam benak rakyat Indonesia saat ini. Patut kiranya kita merenungkan sebuah wasiat Nabi Muhammad Saw, yang dikutip Ibnu 'Arabi dalam kitabnya Al-Washaya li Ibn al-'Arabi (Wasiat-Wasiat Ibnu Arabi, Pustaka Hidayah, 1996:324) berikut ini.

Rasulullah Saw bersabda, "Tiada kebaikan dalam kehidupan kecuali bagi seorang berilmu ('alim) yang berbicara atau pendengar yang memperhatikan. Wahai manusia, kalian berada pada zaman hudnah, dan perjalananmu cepat..." Miqdad bertanya, "Wahai Rasulullah, apa hudnah itu?" Nabi Saw menjawab, "Negeri bencana dan yang terputus. Jika menjadi samar bagi kalian urusan-urusan seperti penggalan malam yang gelap, maka hendaklah kalian (kembali) kepada al-Quran. Sebab, al-Quran adalah pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan saksi yang dipercaya. Barangsiapa menjadikannya sebagai pemimpin, maka ia akan menuntunnya ke surga. Dan barangsiapa menaruhnya di belakang, maka ia menghalaunya ke neraka. Ia (al-Quran) adalah petunjuk yang paling jelas kepada jalan terbaik. Barangsiapa berbicara dengannya, maka ia dipercaya; barangsiapa mengamalkannya, maka ia diberi pahala; dan barangsiapa yang menghukumi dengannya, maka ia berlaku adil..."

Apalah negeri kita kini berada pada zaman hudnah? Wallahu a'lam, namun tampaknya demikian. Karenanya, umat Islam wajib segera kembali ke al-Quran, sumber kebenaran hakiki dan sumber tegaknya keadilan. Jika bukan al-Quran yang dijadikan rujukan dan pedoman kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, jangan harap bangsa/negara ini memperoleh kebenaran dan keadilan hakiki, yang penuh limpahan rahmat Allah SWT. Terlebih jika kita telah mengaku sebagai Muslim, yang berarti mengakui al-Quran sebagai wahyu dan bimbingan-Nya bagi kehidupan kita. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

0 comments:

Post a Comment