Thursday, July 10, 2014

Memilih Pemimpin

  Memilih Pemimpin
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Telah menjadi keyakinan kita, selaku umat Islam, bahwa agama ini (Islam) merupakan pedoman hidup yang harus dipatuhi. Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Jika kita mengikutinya, maka kebahagiaan dunia-akhirat akan diraih. Sedangkan jika kita mengabaikan aturan-aturan Islam, maka kecelakaan dan kesengsaraan akan menimpa kita, di dunia dan akhirat.

Menghadapi persoalan besar negara kita sekarang ini, yakni ihwal kepemimpinan nasional, kita selaku umat Islam pun harus menjadikan syariat Islam sebagai pedoman dalam memilih pimpinan, dalam hal ini berupa memilih wakil rakyat di lembaga legislatif. Tentu saja, caranya dengan mengikuti Pemilu dan memberikan suara kepada kontestan (partai politik) yang aspiratif terhadap umat Islam, termasuk ihwal pimpinan eksekutif tertinggi (presiden).

Islam menggariskan, syarat utama pimpinan yang harus dipilih umat Islam adalah seorang Muslim. Allah SWT menegaskan, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan taatilah pula 'ulil amri' di antara kamu..." (Q.S. an-Nisa:59).

Kata "di antara kamu" (minkum) jelas menunjukkan "ulil amri" (pemegang kekuasaan, penguasa, atau pemimpin) haruslah "orang kita", yakni sesama Muslim. Hal tersebut dipertegas oleh Q.S. Ali Imran:28, "Orang-orang beriman tidak mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin..." dan Q.S. Ali Imran:118, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memilih 'bithanah' (pemimpin, teman dekat) dari selain kalian. Mereka tidak akan melalaikan kesempatan untuk mencelakakan kalian. Mereka suka kalian menderita...".

Alasan utama umat Islam harus memilih seorang Muslim sebagai pemimpin, antara lain karena sang pemimpin bertugas membimbing umat mengamalkan syariat Allah dan menegakkan syiar Islam di bumi ini. Bagaimana mungkin seorang non-Muslim mampu melakukannya?

Persyaratan Muslim di sini tentu saja yang benar-benar kaffah kemuslimannya, tidak parsial apalagi "Muslim sekuler", sehingga ia tidak akan membiarkan munkarat atau kemaksiatan merajalela di negeri ini, baik berupa "KKN" maupun perjudian, prostitusi, dan sebagainya. Ia akan pimpin umat Islam menuju kehidupan yang penuh berkah dan maghfirah Allah, dengan mempedomani syariat Islam dalam sistem pemerintahannya.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Syarat penting lainnya, seorang pemimpin yang harus kita pilih mestilah seorang laki-laki. Seperti telah disepakati Kongres Umat Islam Indonesia tahun lalu, pemimpin --dalam hal ini presiden-- harus seorang Muslim laki-laki, bukan wanita. Karena itu, dalam pemilu nanti tentunya umat Islam hendaknya memilih kekuatan-kekuatan politik yang akan memilih seorang Muslim laki-laki menjadi presiden.

Kaum salaf umat Islam, sebagaimana dikemukakan Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya Fiqhul Mas'uliyyah fil-Islami (Fiqih Responsibilitas dalam Islam, GIP, 1998:180), telah bersepakat bahwa perempuan tidak boleh memangku jabatan kepemimpinan kaum Muslimin. Karena, pemimpin umum mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak dapat dilakukan oleh seorang perempuan, seperti memimpin shalat dan sejenisnya.

Seorang pemimpin dalam pandangan Islam mestilah pula seorang yang adil atau berkeadilan. Yang mampu menunaikan seluruh tugasnya mengayomi seluruh rakyat, tanpa perbedaan perlakuan, seraya menjauhi dosa-dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil. Juga bersifat amanah (terpercaya) dan jujur.

Keadilan ('adalah) menurut Ali bin Abi Thalib adalah inshaf kejujuran. Ibnu Athiyah menafsirkan keadilan sebagai "seluruh akidah dan syariat yang diwajibkan dalam menunaikan amanat, meninggalkan kezhaliman, jujur, dan memberikan hak". Sedangkan Ibnul 'Arabi mengatakan, keadilan antara hamba dan Rabbnya adalah mendahulukan hak Allah atas kepentingan dirinya. Mementingkan ridha Allah dari dorongan nafsunya.

Dengan demikian, pemimpin umat Islam mestilah seorang yang saleh, taat menjalankan semua perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia menjadi teladan bagi seluruh umat Islam yang dipimpinnya.

Syarat lain seorang pemimpin adalah berkemampuan (memimpin). Ia harus mampu mewujudkan kemaslahatan umat serta mengatur urusan mereka. Ia harus mampu mengemban amanat rakyat (umat Islam). "Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggulah masa kehancuran," demikian sabda Nabi Saw. Ketika para sahabat bertanya tentang bentuk penyia-nyiaan amanat itu, beliau menjawab, "Jika suatu tugas diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya".

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan, umat Islam diharuskan memilih pemimpin yang tidak menginginkan jabatan. Dengan kata lain, umat harus memilih pemimpin yang tidak ambisius, atau jangan memberikan jabatan kepada orang yang meminta jabatan tersebut. Karena meminta jabatan dengan alasan merasa diri sendiri mampu, dilarang oleh Islam. "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa" (Q.S. an-Najm:32).

Lebih tegas disabdakan Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdurrahman bin Sumrah,

"Wahai Abdurrahman bin Samrah, janganlah engkau minta kepemimpinan itu, karena jika engkau diberikan karena memintanya, niscaya akan dibebankan dengan tugas kepemimpinan itu, sedangkan jika engkau diberikan bukan karena meminta, maka engkau akan diperbantukan bagi kepemimpinan itu..."

Demikianlah sebagian pedoman Islam bagi umatnya dalam memilih pemimpin.

Semoga kita dan umat Islam seluruhnya, mampu membuka mata, telinga, dan hati, untuk memilih pemimpin-pemimpin yang mampu menjaga harkat-martabat Islam dan umatnya (izzul Islam wal Muslimin), serta mampu menata kehidupan bangsa dan negara ini menuju baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang aman sejahtera, penuh limpahan rahmat Allah SWT. Amin. Barakallahu li walakum. (ASM. Romli).n

0 comments:

Post a Comment